BeritaHukrim

KDRT Berujung Maut di Sumenep, Komnas Perempuan Sebut Kasus Femisida

972
×

KDRT Berujung Maut di Sumenep, Komnas Perempuan Sebut Kasus Femisida

Sebarkan artikel ini
Komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah Tardi, @by_reportasenews.net/tribunnewswiki.
Foto: Komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah Tardi, @by_reportasenews.net/tribunnewswiki.

SUMENEP, Reportasenews.net – Kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang berujung pada tewasnya NS (27), seorang istri di Desa Jenangger, Kecamatan Batang-Batang, Sumenep, Jawa Timur, menyedot perhatian publik.

Salah satunya Komnas Perempuan turut menyuarakan keprihatinannya atas kejadian tersebut, dan menilai peristiwa itu sebagai bentuk femisida.

Komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah Tardi, mengutuk keras tindakan kekerasan yang dilakukan oleh AR (28), suami korban, yang mengakibatkan kematian NS.

Menurutnya, kejadian tersebut adalah contoh jelas dari femisida dalam relasi perkawinan.

“Kasus ini adalah femisida dalam relasi intim. Ini merupakan puncak dari siklus kekerasan KDRT yang dialami korban,” kata Siti dalam keterangannya di Jakarta, Senin (7/10/2024).

Siti menjelaskan, femisida adalah pembunuhan yang dilakukan karena peran gender, di mana perempuan dianggap harus memenuhi kebutuhan seksual suami dan tidak boleh menolak.

Selain itu, lanjut dia, mengutip rilpolitik.com, bahwa kekerasan terhadap NS juga dilakukan berulang kali.

“Alasan femisida ini jelas, pertama, karena korban dipaksa untuk memenuhi kebutuhan seksual suaminya. Kedua, ada riwayat kekerasan sebelumnya,” tegasnya.

Dari sisi hukum, pelaku AR dapat dijerat dengan Pasal 44 ayat (3) UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT, yang mengancam hukuman penjara hingga 15 tahun dan denda maksimal Rp45 juta.

Siti juga menambahkan bahwa meskipun Indonesia belum memiliki pasal khusus untuk femisida, tindakan pembunuhan terhadap perempuan tetap bisa dijerat melalui pidana penganiayaan yang menyebabkan kematian.

“Femisida mungkin belum secara spesifik diatur dalam hukum kita, tetapi penghilangan nyawa perempuan jelas bisa diproses hukum sebagai tindak pidana pembunuhan,” tambahnya.

Siti juga mengingatkan bahwa setiap kekerasan fisik dalam KDRT berpotensi menjadi kasus femisida.

Oleh sebab itu, ia menekankan pentingnya memberikan dukungan dan bantuan kepada korban sejak awal kekerasan terjadi agar dapat keluar dari siklus kekerasan.

“Yang utama adalah segera memberikan dukungan kepada korban. Keluarga dan masyarakat harus peka bahwa kekerasan fisik dalam KDRT bisa berujung pada femisida. Jangan tunggu sampai terlambat,” pesannya.

Diberitakan sebelumnya, bahwa kronologi KDRT itu bermula dari kemarahan AR yang kesal karena istrinya menolak berhubungan badan.

Penganiayaan pertama terjadi pada Sabtu (22/6/2024) di rumah mertua korban, sementara penganiayaan kedua terjadi pada Jumat (4/10/2024) di kamar rumah mereka.

Pada kejadian pertama, NS sempat dilarikan ke rumah sakit akibat luka lebam di matanya.

Sayangnya, setelah pulih, korban kembali ke rumah suaminya dan kembali menjadi korban kekerasan.

Pada penganiayaan kedua, korban dipukul hingga mengalami luka serius yang menyebabkan kematiannya pada Sabtu (5/10/2024) di Puskesmas Batang-Batang. ***