SUMENEP, Reportasenews.net – Menjelang Pemilu 2024, aturan terkait netralitas Kepala Desa, Perangkat Desa, dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) kembali disorot.
Sesuai dengan Undang-Undang Pemilu dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, mereka dilarang keras menjadi bagian dari tim kampanye atau terlibat dalam kegiatan politik praktis.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Pasal 29 huruf (g), Kepala Desa dilarang menjadi pengurus partai politik.
Larangan serupa juga berlaku untuk Perangkat Desa, sebagaimana diatur dalam Pasal 51 huruf (g) UU tersebut.
Bahkan, anggota BPD, yang berfungsi sebagai lembaga permusyawaratan di tingkat desa, juga harus menjaga netralitasnya dalam politik praktis.
Selain aturan di UU Desa, larangan tersebut juga ditegaskan dalam UU Pemilu, yang menyebut bahwa Kepala Desa atau perangkatnya tidak boleh melakukan tindakan yang menguntungkan atau merugikan peserta pemilu.
Kepala Desa yang melanggar aturan tersebut bisa dikenai sanksi hukum, termasuk pidana penjara hingga satu tahun dan denda maksimal Rp12 juta, seperti tertuang dalam Pasal 490 UU Pemilu.
Pada Pemilu 2019, masih ditemukan sejumlah pelanggaran terkait keterlibatan Kepala Desa dalam politik praktis.
Salah satu kasus yang mencuat adalah di Mojokerto, Jawa Timur, di mana seorang Kepala Desa terlibat dalam kampanye dan akhirnya dijatuhi hukuman penjara.
Kasus tersebut menjadi peringatan keras bahwa Kepala Desa dan perangkatnya harus tetap netral dalam proses demokrasi.
Aturan itu diterapkan untuk memastikan bahwa Pemilu 2024 berjalan dengan adil, demokratis, dan bebas dari intervensi pejabat pemerintahan desa.
Sebagai bagian dari pemerintahan yang lebih dekat dengan masyarakat, Kepala Desa dan perangkatnya diharapkan fokus pada tugas utama mereka dalam melayani masyarakat dan tidak terseret dalam politik praktis.
Pemilu yang bermartabat, berkualitas, dan demokratis hanya bisa terwujud jika semua pihak, termasuk Kepala Desa, Perangkat Desa, dan BPD, mematuhi aturan hukum yang berlaku.***