BeritaPolitik

Calon Tunggal di Pilkada, Modus Baru Mengebiri Hak Politik Rakyat

528
×

Calon Tunggal di Pilkada, Modus Baru Mengebiri Hak Politik Rakyat

Sebarkan artikel ini
Calon Tunggal di Pilkada, Modus Baru Mengebiri Hak Politik Rakyat
Foto: Calon Tunggal di Pilkada, Modus Baru Mengebiri Hak Politik Rakyat, @by_reportasenews.net

SUMENEP, Reportasenews.net – Isi catatan ini akan sangat sederhana. Seperti pikiran orang-orang kampung: simple, mudah dicerna dan apa adanya.

Sebagai penulis, saya juga akan berusaha sekuat tenaga untuk menghindar dari kutipan demi kutipan. Layaknya orang kampung, mereka jarang sekali menyampaikan ide-ide titipan hanya demi menjatuhkan lawan.

Catatan ini akan berisi hasil diskusi, cerita teman yang gagal diajak ngopi, dan jawaban para calon bupati yang tidak bisa ditulis secara rinci. Sederhananya, catatan ini tidak akan serumit catatan lain, yang setelah dibaca, isinya hanyalah sugesti bahwa calon tunggal di Pilkada adalah keniscayaan politik yang harus diterima. Sebuah sugesti, yang isinya kutipan semua, apa hebatnya? Haha, buruk sekali tabiat penulisnya.

Catatan ini ingin saya mulai dengan pernyataan bahwa wacana kotak kosong, atau calon tunggal di Pilkada, sungguh sangat berbahaya. Ada banyak analogi sederhana untuk membuktikannya.

Misalnya, Pilkada dengan calon tunggal adalah bukti bahwa politik sudah tidak lagi untuk rakyat. Sebelum rakyat memilih, para elit telah bersepakat–dengan dalih koalisi–yang ujung-ujungnya rakyat tidak punya pilihan lain.

Keikutsertaan rakyat dalam politik terus dikebiri. Bisa dikata sudah tidak ada lagi, atau dihabisi. Sebelum pencoblosan, seluruh “teknis” Pilkada diakali. Ketika rakyat ingin perubahan dan perbaikan, oleh para elit semua dibatasi dan “diarahkan“. Sebab hanya ada satu pilihan; calon tunggal.

Bagi rakyat, tidak banyak kesempatan untuk berpolitik. Satu-satunya kesempatan, seperti mencoblos di TPS, sudah terhitung sebagai gimmick atau sereminial. Kedatangan rakyat di TPS hanya untuk melengkapi administrasi pemilu semata.

Namun begitu, para politisi masih ngotot untuk mengatakan: semua demi rakyat. Semua demi masa depan yang lebih baik. Maka, bagi orang kampung, pertanyaannya sederhana: Apa bukti bahwa rakyat setuju dengan calon tunggal? Semua hanya atas nama dan akal-akalan saja.

Tidak ada jaminan bahwa calon tunggal adalah kontestan terbaik. Sebab ia sendirian. Tanpa pembanding. Rakyat hanya akan dicap apatis jika tidak memilihnya. Rakyat juga akan dicap tidak peduli dengan negara. Padahal semua sudah diatur sedemikian rupa.

Kontestasi Pilkada semestinya ada kawan dan lawan yang sama-sama berdiri. Dengan cara itu, koreksi ke arah lebih baik akan terjadi. Koreksi itu bisa saja hanya bualan. Walakin, bisa jadi pula adalah fakta yang ingin dihilangkan oleh kekuasaan.

Pilkada Sumenep tidak soal kaderisasi partai yang lemah. Lebih dari itu, karena kotak kosong lebih mudah ketimbang melawan calon lain. Melawan kotak kosong tidak perlu berdebat. Tidak perlu bermufakat. Tidak perlu menangkis seluruh koreksi-koreksi yang berat. Kotak kosong cukup dihadapi dengan meyakinkan pemilih bahwa calon yang ada sangat hebat.

Wacana kotak kosong di Pilkada Sumenep memberikan dua pelajaran. Pertama, politik dan rakyat terus saling diasingkan. Kedua, sudah seharusnya rakyat berpikir untuk menjalankan kota dengan yang berbeda(?). Salam awam saja.***

Gapura, 18 Agustus 2024