BeritaPeristiwa

Konflik Agraria Mengancam: 12,7 Juta Bidang Tanah di Indonesia Belum Terdaftar

451
×

Konflik Agraria Mengancam: 12,7 Juta Bidang Tanah di Indonesia Belum Terdaftar

Sebarkan artikel ini
Advokat Abd Rahman Suhu, S.H., M.H., selaku Ketua tim hukum ARS Law Office and Partners,
Foto: Advokat Abd Rahman Suhu, S.H., M.H., sekaligis Ketua tim hukum ARS Law Office and Partners, @by_reportasenews.net

KALIMANTAN, Reportasenews.net – Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia tahun 2021, luas daratan Indonesia mencapai 1.916.906 kilometer persegi.

Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dengan 17.508 pulau, Indonesia memiliki sekitar 126 juta bidang tanah yang harus didaftarkan.

Namun, hingga 31 Mei 2024, baru 113,3 juta bidang tanah yang terdaftar, sehingga masih ada sekitar 12,7 juta bidang tanah yang belum memiliki status legal yang jelas.

Dari total 513 kabupaten/kota di Indonesia, hanya 33 kabupaten/kota yang sudah dinyatakan lengkap.

Menurut Abdul Rahman Suhu, seorang pengacara kondang, status “lengkap” berarti seluruh bidang tanah di wilayah tersebut telah dipetakan dan didata.

“Data ini sangat penting bagi pemerintah daerah untuk mengambil kebijakan di bidang tata ruang dan pertanahan guna meminimalkan konflik agraria,” jelasnya, Rabu (25/9/2024).

Namun, Suhu juga mengkritisi adanya penyalahgunaan wewenang oleh oknum di pemerintah daerah terkait pengelolaan lahan.

“Bagian yang sudah dikuasai warga seharusnya tidak dibuat resah dengan tumpang tindih klaim. Sayangnya, seringkali oknum pemerintah memanfaatkan kesempatan ini untuk keuntungan pribadi,” tambahnya.

Persoalan tanah, terutama yang berkaitan dengan perkebunan sawit, seringkali memicu konflik. Suhu menyoroti bahwa banyak kasus persengketaan lahan yang justru menguntungkan pihak-pihak kaya, sehingga memperburuk ketidakadilan yang dirasakan masyarakat kecil.

“Sidang pengadilan pun sering kali tidak berpihak pada masyarakat kecil, terutama dalam kasus-kasus sawit dan tanah,” ujar Suhu.

Sementara itu, data dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) dalam Catatan Akhir Tahun 2023 mengungkap bahwa terdapat 2.939 konflik agraria yang mencakup 6,3 juta hektar lahan, dan berdampak pada lebih dari 1,7 juta keluarga.

Antara 2015 hingga 2023, terdapat 3.503 korban akibat konflik-konflik tersebut, mayoritas disebabkan oleh sengketa tanah yang tidak terselesaikan.

KPA juga mencatat bahwa hingga saat ini, 25 juta hektar tanah dikuasai oleh pengusaha sawit, 10 juta hektar oleh pengusaha tambang, dan 11,3 juta hektar oleh pengusaha kayu.

Di sisi lain, sebanyak 17,24 juta petani gurem hanya memiliki lahan kurang dari 0,5 hektar, sementara sisanya adalah buruh tani yang sama sekali tidak memiliki lahan.

Abdul Rahman Suhu menegaskan bahwa akar permasalahan konflik agraria di Indonesia berkaitan dengan korupsi, ketidakpastian hukum, dan buruknya pendataan lahan.

“Ini adalah lahan subur bagi praktik korupsi. Aparat Tipikor harus terus memantau setiap kabupaten yang bermasalah,” kata Suhu.

Sebagai solusi, Suhu mendorong penegakan Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945, yang menyatakan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

Ia juga menyerukan peningkatan peran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam memberantas korupsi di sektor agraria serta pembangunan sistem digitalisasi untuk mengatasi tumpang tindih kepemilikan lahan.

“Kita perlu membangun sistem agraria yang adil, berdaulat, akuntabel, dan transparan,” tutupnya.***