SUMENEP, Reportasenews.net – Setelah kebohongan, semua kebenaran menjadi mencurigakan. Hal ini adalah sikap alamiah yang dilakukan oleh hati. Saat satu kebohongan terbukti, kebenaran menjadi tidak mudah untuk dipercaya lagi.
Sesuai regulasi, jadwal kampanye sudah dimulai. Polarisasi opini publik akan dengan mudah kita temui. Dan strategi kampanye, termasuk melalui media sosial, eskalasinya akan semakin tinggi.
Hemat saya, di waktu kampanye ini, kedewasaan rakyat dalam berpolitik diuji. Beberapa pekan ke depan, mereka akan menerima banyak janji, afirmasi dan bahkan mungkin sugesti. Mereka juga akan diserang dengan ragam pencitraan.
Maka, rakyat harus meluangkan waktu untuk melakukan koreksi. Apakah di setiap pencitraan, kebenarannya bisa dibuktikan? Paling tidak, rakyat harus tahu, bahwa pencitraan yang dilakukan oleh semua calon bupati dan wakil bupati bukanlah kebohongan yang disembunyikan.
Di tengah dinamika politik, beragam perspektif subjektif akan selalu berseliweran. Ia mengintai rakyat kecil dan para pemikir dengan kadar kecakapan politik yang pas-pasan.
Rakyat juga harus sadar bahwa perspektif subjektif memiliki kemampuan untuk merekonstruksi sebuah kebenaran menjadi kebohongan. Mampu menutupi kebohongan dengan dalih kebenaran.
Dan selama masa kampanye, jebakan-jebakan subjektif, yang bahkan mungkin agitatif, akan mengalir ke semua plaform digital dan tongkrongan. Sekali lagi, di titik ini, kedewasaan rakyat dalam berpolitik dipertaruhkan.
Rakyat harus punya kemandirian dan keterampilan. Paling tidak, mandiri dan terampil untuk mengoreksi setiap pencitraan yang dilakukan, baik oleh patahana atau pun penantang. Sebab keduanya sama-sama memiliki peluang untuk menyampaikan kebohongan dengan rekayasa subjektif yang meyakinkan.
Beberapa pekan ke depan, rakyat akan selalu disuguhi debat, baik secara formal dan non formal. Dan jebakan-jebakan subjektif akan terus bermunculan. Rakyat harus penuh kewaspadaan.
Rakyat juga harus sadar bahwa debat politik hanyalah ramalan yang belum tentu Tuhan kabulkan. Pun jika dikabulkan, ramalan itu hanya akan menjadi debat lain, yang terus berkelanjutan. Tidak berkesudahan. Maka, memilih bersikap bodoh dan awam, bisa menjadi satu-satunya pilihan.
Dan ternyata, untuk hidup tenang, tanpa harus membuang banyak waktu untuk merekayasa jalan pikiran, harganya sangat mahal.
Minimal, kita harus percaya bahwa ketenangan bukan sekedar menguasai keadaan. Lebih dari itu, kita harus menyiapkan sebuah kerelaan. Rela untuk bodoh dan awam.
Adakalanya kita perlu berbicara, atas nama rakyat atau tuan yang sekonyong-konyong ingin kita bela. Tapi apakah mereka percaya? Apakah rakyat senang dengan sekian rekayasa pikiran yang para pendebat cipta?
Terakhir. Jika ada satu kebohongan yang sengaja para kontestan ciptakan, maka kebenaran yang mereka ungkapkan harus kita abaikan. Kita harus curiga. Salam awam saja. ***
Oleh: NK Gapura
28 September 2024