Berita

Haji Iksan Mahmudi Bongkar Fenomena Wartawan Bodrek: Dari Pemeras hingga Pemburu Amplop

241
×

Haji Iksan Mahmudi Bongkar Fenomena Wartawan Bodrek: Dari Pemeras hingga Pemburu Amplop

Sebarkan artikel ini
404049e9 a19f 4ab0 ac34 daa7724a3538

PROBOLINGGO, reportasenews.net — Di Museum Probolinggo, Selasa (7/1), Haji Iksan Mahmudi, wartawan senior yang memulai kariernya di Surabaya Pos sejak 1991 dan kini bergabung di Ngopibareng.id, membahas serius fenomena “wartawan bodrek” dan “grandong.” Istilah ini kerap digunakan untuk menyebut segelintir orang yang mengaku wartawan tetapi berperilaku di luar kaidah jurnalistik. Dalam sesi bincang santai namun penuh makna, Haji Iksan menguraikan asal-usul fenomena ini, dampaknya bagi masyarakat, hingga solusi yang dapat ditawarkan.

“Fenomena ini sebenarnya bukan hal baru. Sejak saya mulai menjadi wartawan di era Orde Baru, sudah ada yang seperti ini. Namun, saat itu tidak separah sekarang,” ujarnya membuka percakapan.

Menurut Haji Iksan, perubahan besar terjadi setelah Reformasi 1998. Kebebasan pers yang digaungkan sejak era Presiden B.J. Habibie membawa dampak positif, tetapi juga menyisakan ekses negatif.

“Dulu, mendirikan media itu sulit. Harus punya SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers) yang diterbitkan pemerintah. Tapi sekarang, cukup dengan badan hukum seperti koperasi atau PT, seseorang sudah bisa mendirikan media,” jelasnya.

Kemudahan itu, lanjutnya, memicu lahirnya media abal-abal yang dikelola tanpa standar jurnalistik yang jelas. Banyak yang mendirikan media hanya untuk kepentingan ekonomi semata.

“Mereka bukan mencari berita, tapi mencari peluang. Datang ke pejabat atau kepala desa, lalu mengancam akan memublikasikan skandal jika tidak diberi ‘amplop.’ Itu bukan wartawan. Itu pemeras.”

Menyusup di Tengah Demokrasi

Seiring dengan pesatnya perkembangan media daring, fenomena wartawan bodrek justru semakin merajalela. Haji Iksan mengutip data Dewan Pers yang menyebut ada sekitar 43 ribu media daring di Indonesia, tetapi yang terverifikasi hanya ratusan.

“Jadi, banyak yang asal buat media. Bahkan sekarang ada istilah WTS, Wartawan Tanpa Surat Kabar. Mereka datang dengan kartu pers, tapi medianya tidak jelas.”

Ia menegaskan, ciri wartawan bodrek atau grandong dapat dilihat dari kinerjanya.

“Wartawan sejati bekerja sesuai Undang-Undang Pers. Mereka mencari, mengolah, dan menyajikan berita berdasarkan fakta. Sementara wartawan bodrek datang hanya untuk mengintimidasi. Kalau tidak ada amplop, ya beritanya akan dipelintir.”

Dampak Buruk bagi Reputasi Jurnalistik

Praktik ini, menurut Haji Iksan, merusak citra jurnalis yang sesungguhnya.

“Ada wartawan yang benar-benar menjalankan tugas jurnalistik, tetapi ikut terkena stigma negatif. Masyarakat jadi sulit membedakan mana wartawan asli dan mana yang palsu.”

Ia juga mengkritik peran media sosial yang kerap menjadi sumber berita hoaks.

“Di media sosial, siapa saja bisa jadi ‘wartawan.’ Cukup dengan ponsel, mereka memotret kejadian dan langsung memublikasikannya. Padahal, informasi yang disebarkan belum tentu benar.”

Peran Dewan Pers

Haji Iksan menilai Dewan Pers memiliki peran penting sebagai pengawas dan pembina media. Namun, ia juga mengakui tugas itu tidak mudah.

“Dewan Pers ibarat wasit dalam pertandingan. Mereka mengatur jalannya permainan agar adil. Tapi jumlah media yang sangat banyak membuat pengawasan menjadi tantangan tersendiri.”

Ia berharap Dewan Pers lebih aktif melakukan edukasi kepada masyarakat dan pemerintah daerah agar tidak mudah tertipu oleh wartawan abal-abal.

“Pejabat harus tahu, kalau ada yang datang mengaku wartawan, cek dulu medianya.”

Masa Depan Media di Tengah Tantangan

Menghadapi tantangan ini, Haji Iksan optimistis media berkualitas akan bertahan.

“Seleksi alam akan terjadi. Media yang kredibel akan tetap dibaca orang. Yang abal-abal akan ditinggalkan.”

Ia juga menekankan pentingnya fungsi ekonomi dalam dunia pers.

“Media memang harus punya sisi bisnis. Tapi bisnisnya harus halal. Kalau ada advertorial atau berita berbayar, itu sah-sah saja. Yang penting isinya tidak bohong dan ada nilai informatif bagi pembaca.”

Di akhir wawancara, Haji Iksan berpesan kepada para jurnalis muda agar menjaga integritas.

“Jurnalisme itu pilar keempat demokrasi. Jangan sampai kita menggadaikan kepercayaan masyarakat demi keuntungan pribadi.”

Profesi jurnalis masih memikul tugas berat di tengah derasnya arus informasi. Bagi Haji Iksan, menjaga kemurnian pers bukan sekadar tugas, tapi juga panggilan moral.

(Jhon Qudsi)

“Banner