SUMENEP, Reportasenews.net – Studi banding Asosiasi Kepala Desa (AKD) se-Kabupaten Sumenep ke Bandung mulai mendapatkan kritik tajam dari publik dan sejumlah pemerhati.
Berdasarkan surat dari Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (DPMD) Kabupaten Sumenep Nomor: 400.2.2/319/112.2/2024 tertanggal 18 Juli 2024, berlangsung dari 25 hingga 30 Juli 2024.
Diketahui, anggaran untuk studi banding tersebut, sebesar lebih dari 2 miliar rupiah, menjadi sorotan utama karena dianggap sebagai pemborosan anggaran.
Anggaran sebesar lebih dari 2 miliar ini dibebankan kepada seluruh kepala desa dan diizinkan untuk dilaporkan dalam Anggaran Dana Desa (ADD) atau Dana Desa (DD).
Keputusan tersebut memicu kontroversi di kalangan masyarakat yang menilai bahwa studi banding sampai saat ini tidak memberikan manfaat konkret bagi warga desa.
Muncul desakan dari berbagai kalangan agar desa-desa di Sumenep segera mengembangkan baik wisata dan homestay serta potensi-potensi yang ada di desa.
Hal ini terutama penting mengingat beberapa desa seperti Desa Pagarbatu dan Desa Lobuk telah sukses memanfaatkan potensi alam mereka dengan Bukit Tawaf dan Pantai Matahari.
Desa Lobuk telah membuktikan diri sebagai desa mandiri bahkan sebelum melakukan studi banding ke Bandung.
Berkat upaya dan inovasi yang dilakukan oleh Kepala Desa dan masyarakat, Desa Lobuk kini menjadi contoh nyata bagi desa-desa lain di Sumenep.
Keberhasilan itu tidak terlepas dari pengembangan sektor pariwisata yang dimotori oleh keindahan Pantai Matahari.
Pantai ini telah menarik banyak wisatawan, baik lokal maupun luar daerah, yang berkontribusi besar terhadap perekonomian desa.
Sebelum melaksanakan studi banding ke Bandung, Desa Lobuk sudah menjalankan berbagai program yang mendukung kemandirian desa.
Program-program tersebut meliputi pengembangan infrastruktur, peningkatan kualitas pendidikan, dan pemberdayaan ekonomi masyarakat melalui usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
Kepala Desa Lobuk mengungkapkan bahwa studi banding ke Bandung merupakan langkah untuk mencari inspirasi dan memperluas wawasan mengenai pengelolaan desa yang lebih efektif. Namun, desa ini sudah memiliki fondasi yang kuat untuk terus berkembang secara mandiri.
“Desa Lobuk telah membuktikan bahwa dengan kerja keras dan inovasi, kemandirian bisa dicapai. Kami berharap desa-desa lain di Sumenep dapat mengikuti jejak kami,” ujar Kepala Desa Lobuk.
Keberhasilan Desa Lobuk menjadi desa mandiri sebelum studi banding ke Bandung menunjukkan bahwa desa-desa di Sumenep memiliki potensi besar yang bisa dikembangkan dengan optimalisasi sumber daya lokal dan kerjasama antar warga.
Namun, desa-desa lain masih belum bergerak untuk mengembangkan potensi wisatanya. Pertanyaan besar yang muncul adalah kapan desa-desa ini akan mulai bergerak?
Bekal pengetahuan dan hasil studi banding ke Bandung sudah ada, tinggal menunggu keseriusan dari para kepala desa untuk mewujudkan potensi ini menjadi nyata.
Kritik keras pun datang dari berbagai kalangan dan grup WhatsApp Sumenep pada Minggu, 4 Juli 2024.
Para pemerhati menyoroti lambatnya realisasi pengembangan wisata dan potensi-potensi desa, serta meminta agar kepala desa serius dalam menggerakkan sektor ini.
“Jangan biarkan para pemerhati berprasangka buruk tentang plesiran ke Bandung. Ingkam dari kegiatan tersebut harus ada gerakan nyata,” tulis Syaiful Puja, di grup WhatsApp.
Penikmat informasi juga tidak bisa disalahkan karena kondisi ini sudah tersistem dan masif.
Dengan pengetahuan yang telah dimiliki, melalui media ini pemerhati berharap para kepala desa segera mengambil langkah konkret.
“Sudah waktunya desa-desa di Sumenep berbenah dan mulai menggerakkan sektor pariwisata dan homestay atau infrastruktur yang lebih mendesak, agar dapat memberikan dampak positif bagi perekonomian desa dan kesejahteraan masyarakat,” tandasnya.***