Reportase News – Prinsip ultimum remedium dalam penegakan hukum seharusnya menjadi pilihan terakhir setelah berbagai langkah administratif, preventif, dan persuasif dijalankan. Namun dalam konteks penindakan terhadap peredaran rokok ilegal, yang terjadi justru sebaliknya. Ketidaktegasan pihak Bea Cukai kini menjadi sorotan tajam dari berbagai kalangan.
Selama ini, pendekatan terhadap rokok ilegal lebih sering dibungkus dalam praktik “pengondisian”—istilah halus yang menyiratkan kompromi di luar jalur hukum. Kondisi ini menimbulkan pertanyaan serius: apakah hukum benar-benar ditegakkan, atau hanya dijadikan alat transaksional oleh oknum?
Beberapa pengusaha rokok ilegal bahkan secara terbuka mengaku telah berkali-kali “dikondisikan” oleh oknum Bea Cukai. Ironisnya, proses tersebut tidak berakhir di meja hijau, melainkan di meja perundingan informal. Penegakan hukum pun kehilangan marwah, sementara para pelanggar merasa kian nyaman karena tak pernah benar-benar disentuh proses hukum yang serius.
Jika ultimum remedium hanya dijadikan tameng untuk menutupi ketidakseriusan aparat penegak hukum, maka penanganan rokok ilegal tak ubahnya sandiwara birokrasi. Padahal, negara dirugikan hingga triliunan rupiah setiap tahunnya akibat maraknya peredaran rokok tanpa cukai. Pertanyaannya: siapa yang diuntungkan dari pembiaran ini? Sudah pasti bukan rakyat.
Sudah waktunya Bea Cukai bertindak tegas dan konsisten. Tidak cukup dengan razia sporadis atau pencitraan media. Hukum harus ditegakkan menyeluruh, tidak diskriminatif. Jika tidak, maka ultimum remedium hanya akan menjadi ultimum sandiwara—tempat di mana keadilan tinggal menjadi simbol, bukan kenyataan.