SUMENEP – Puluhan aktivis bersama keluarga korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang menimpa Nihayatus Sa’adah (Neneng), warga Kecamatan Lenteng, menggelar unjuk rasa di Kejaksaan Negeri (Kejari) dan Pengadilan Negeri (PN) Sumenep, Madura, Jawa Timur, Selasa (18/2/2025).
Mereka menilai dakwaan yang dibacakan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) tidak mencerminkan beratnya kasus. Bahkan, sempat terjadi ketegangan antara massa aksi dan aparat keamanan sebelum akhirnya pihak Kejaksaan menemui mereka.
Massa aksi menuntut agar kasus ini tidak hanya dijerat dengan pasal KDRT, tetapi juga pasal 338 atau 340 KUHP terkait pembunuhan berencana. Saat ini, kasus Nihayatus Sa’adah sudah memasuki sidang kedua dengan agenda pemeriksaan saksi di Pengadilan Negeri Sumenep.
Koordinator aksi, Achmad Hanafi, menegaskan bahwa kasus ini tidak bisa hanya dianggap sebagai KDRT biasa.
“Kami menduga korban dibawa secara paksa ke rumah suaminya. Kemudian, kami mendapat kabar bahwa ia meninggal dari tetangganya,” ujarnya.
Hanafi juga menyoroti adanya indikasi kuat perencanaan dalam kejadian ini, sehingga ia mendesak agar kasus ini dibongkar lebih dalam.
“Kami berharap penyidik dan jaksa tidak hanya menjadikan KDRT sebagai pintu masuk. Ada indikasi lebih serius yang harus diungkap,” tegasnya.
Menurut keterangan kepolisian, pelaku diduga melakukan KDRT setelah korban menolak ajakan berhubungan badan. Namun, Sujoto, ayah korban, membantah klaim tersebut.
“Saat putri saya menyusui anaknya, ada tamu laki-laki berusia empat tahun. Suaminya langsung marah dan memukul putri saya,” ungkap Sujoto dengan mata berkaca-kaca, Rabu (10/10/2024).
Ia pun berharap pelaku dihukum seberat-beratnya atas perbuatan keji yang telah merenggut nyawa putrinya.
Sementara itu, Kasi Intel Kejari Sumenep, Moch Indra Subrata, SH, MH, bersama Jaksa Penuntut Umum (JPU), Surya Rizal Hertady, SH, menjelaskan bahwa penerapan Pasal 44 ayat 2 dan 3 UU KDRT sudah sesuai.
“Penerapan pasal ini didasarkan pada fakta bahwa pelaku dan korban masih berstatus suami istri sah saat kejadian,” jelas Indra, Selasa (18/2/2025).
Ia menambahkan bahwa Pasal 44 Ayat 2 diterapkan karena pelaku sering melakukan KDRT hingga menyebabkan luka berat, sedangkan Ayat 3 digunakan karena korban meninggal dunia.
“Tidak memasukkan Pasal 340 karena dari hasil penyidikan tidak ditemukan unsur pembunuhan berencana. Ini murni KDRT sesuai dengan prinsip Lex Spesialis,” tegasnya.
Berdasarkan pasal yang dikenakan, pelaku terancam hukuman maksimal 15 tahun penjara dan denda Rp 45 juta.
Hingga kini, keluarga korban dan para aktivis masih mendesak agar kasus ini diusut lebih dalam, sementara persidangan di Pengadilan Negeri Sumenep terus berjalan.
Akankah ada perubahan dalam tuntutan hukum terhadap pelaku? Kasus ini masih akan terus berkembang.