SUMENEP – Proyek rehabilitasi bangunan cagar budaya di kompleks Keraton atau Pendopo Agung Sumenep, Madura, Jawa Timur, kembali menuai sorotan publik. Pekerjaan dengan nilai anggaran Rp300 juta yang bersumber dari APBD 2025 itu dinilai ceroboh, bahkan berpotensi melanggar undang-undang yang mengatur pelestarian warisan budaya.
Proyek yang digarap Dinas Pariwisata, Kebudayaan, Kepemudaan, dan Olahraga (Disparbudporar) Sumenep ini dilaksanakan melalui mekanisme penunjukan langsung. Ironisnya, proses rehabilitasi sama sekali tidak melibatkan Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) Wilayah XI Mojokerto, selaku institusi teknis resmi Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
Padahal, UU Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya dan UU Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung menegaskan bahwa setiap kegiatan konservasi cagar budaya wajib menggunakan tenaga ahli bersertifikasi dan pendekatan teknis yang sesuai, demi menjaga nilai sejarah dan keaslian bangunan.
Namun fakta di lapangan, proyek ini dikerjakan tanpa tender, oleh pihak yang kapasitasnya tidak jelas, memicu tanda tanya besar soal kompetensi dan transparansi proses pengadaan.
Kepala Disparbudporar Sumenep, H. Moh. Iksan, tak menampik proyek tersebut tidak mendapat pendampingan dari BPK Mojokerto.
“Kalau menunggu balai besar di Mojokerto, tidak tahu kapan bisa dikerjakan. Tapi itu tidak masalah,” ujarnya, Jumat (25/07/2025).
Pernyataan ini mendapat reaksi keras dari pengamat cagar budaya asal Sumenep, Gus Achmad. Ia menilai langkah Disparbudporar berpotensi merusak nilai sejarah dan bisa berimplikasi hukum jika ditemukan pelanggaran teknis.
“Pelestarian cagar budaya tidak bisa dikerjakan tukang biasa. Kalau kayu jati asli diganti kayu kalimantan, itu pelanggaran berat yang menghilangkan nilai sejarah bangunan,” tegasnya, Jumat (01/08/2025).
Gus Achmad mendesak Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan segera turun tangan, mengaudit, dan menertibkan proyek tersebut. Menurutnya, setiap upaya renovasi warisan budaya harus dilakukan secara profesional, transparan, dan sesuai standar pelestarian, bukan dilakukan asal-asalan yang berpotensi mengorbankan jejak sejarah Keraton Sumenep.