BLITAR – Pelaksanaan proyek irigasi di Desa Jatitengah, Kecamatan Selopuro, Kabupaten Blitar, menuai sorotan. Program yang seharusnya dikerjakan secara swakelola justru diduga memakai metode ala kontraktor, memunculkan tanda tanya soal kepatuhan terhadap aturan.
Proyek bernama P3-TGAI (Program Percepatan Peningkatan Tata Guna Air Irigasi) ini dikelola oleh HIPPA Jati Luhur Makmur dengan nilai anggaran Rp195.000.000 yang bersumber dari APBN 2025. Berdasarkan papan informasi, pekerjaan dilaksanakan selama 100 hari kalender, dimulai 4 Agustus hingga 11 November 2025.
Papan proyek juga mencantumkan peringatan tegas: “Dilaksanakan secara swakelola dan/atau tidak dipihakketigakan/dikontraktualkan.” Artinya, pekerjaan wajib melibatkan warga desa dan tidak boleh dikerjakan kontraktor.
Namun, pantauan lapangan pada Selasa (9/9/2025) menemukan indikasi berbeda. Sejumlah pekerja tampak menggunakan molen (alat pengaduk semen) dalam pengerjaan. Metode ini lazim dipakai kontraktor dan menimbulkan dugaan adanya pelanggaran terhadap prinsip swakelola.
Padahal, skema swakelola dirancang pemerintah untuk memberdayakan warga desa, membuka lapangan kerja lokal, dan menjaga transparansi penggunaan dana publik. Dengan melibatkan masyarakat secara langsung, manfaat program diharapkan bisa dirasakan warga, baik melalui upah maupun hasil pembangunan.

Konfirmasi Pihak Terkait
Tim media mencoba meminta klarifikasi kepada Kepala Desa Jatitengah, Yarmono. Saat dihubungi, ia mengatakan bahwa kualitas bangunan tetap menjadi prioritas.
“Ngapunten, saya ada acara di kecamatan. Mengenai bangunan saluran yang mengerjakan HIPPA, tuntutan saya ke HIPPA bangunan harus bagus,” ujarnya.
Ketika ditanya mengenai penggunaan molen yang tidak sesuai skema swakelola, Yarmono beralasan:
“Kalau tidak pakai molen, tidak bisa menjamin adukannya bagus.”
Sementara itu, Ketua HIPPA Jati Luhur Makmur, Riyan Saputra, tidak berhasil ditemui baik di kantor desa, lokasi pekerjaan, maupun kediamannya. Saat dihubungi lewat WhatsApp, pesannya hanya centang satu dan belum ada tanggapan.
Butuh Tinjauan Ulang
Kondisi ini menimbulkan keraguan atas akuntabilitas dan transparansi pelaksanaan proyek. Discrepancy antara ketentuan papan proyek dan fakta lapangan seharusnya menjadi perhatian serius pemerintah daerah maupun Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Brantas.
Pengawasan ketat diperlukan agar proyek benar-benar berjalan sesuai aturan swakelola, bukan sekadar formalitas. Sebab, masyarakat desa lah yang seharusnya menjadi subjek utama dan penerima manfaat dari program senilai ratusan juta rupiah ini.