SUMENEP, Reportasenews.net – Pemerintah Indonesia setiap tahunnya mengalokasikan puluhan triliun rupiah dari Anggaran Dana Desa (ADD) dan Dana Desa (DD) untuk desa-desa di seluruh negeri.
Tujuannya jelas untuk menurunkan angka kemiskinan, mengurangi kesenjangan, dan membangun infrastruktur sesuai dengan kearifan lokal.
Selain itu, dana tersebut juga bertujuan untuk meningkatkan nilai-nilai keagamaan, sosial, dan budaya demi kesejahteraan sosial, serta meningkatkan pelayanan publik di tingkat desa.
Namun, di balik tujuan mulia itu, masalah korupsi justru menjadi bayang-bayang gelap yang terus menghantui implementasi dana desa.
Meskipun penggunaannya telah diatur dengan detail dalam berbagai regulasi, praktik penyimpangan anggaran desa masih marak terjadi di sejumlah wilayah.
Banyak kepala desa yang tersandung kasus korupsi terkait penggunaan anggaran tersebut, menjadikan desa yang seharusnya menjadi lokomotif pembangunan justru menjadi korban eksploitasi kepentingan pribadi.
Lantas, bagaimana masyarakat bisa memastikan bahwa anggaran desa digunakan sesuai peruntukannya?
Berdasarkan informasi dari situs resmi Kemendesa.go.id, ada beberapa ciri yang mengindikasikan anggaran desa tidak dikelola dengan baik dan tidak transparan.
Di antaranya, tidak adanya papan proyek, laporan realisasi yang sama persis dengan RAB, dominasi keluarga kepala desa dalam struktur lembaga desa, hingga Badan Permusyawaratan Desa (BPD) yang pasif dan tidak berfungsi.
Penyimpangan itu semakin jelas terlihat ketika perangkat desa yang vokal dan jujur justru disingkirkan, atau ketika belanja barang/jasa dimonopoli oleh kepala desa.
Tak jarang, kepala desa tiba-tiba memiliki mobil atau rumah mewah dalam waktu singkat, yang tentunya tidak sepadan dengan pendapatan resmi mereka.
Salah satu ciri utama penyimpangan adalah musyawarah desa (Musdes) yang hanya formalitas belaka.
Keputusan yang dihasilkan dari musyawarah itu sering kali tidak disosialisasikan kepada masyarakat, menimbulkan kecurigaan bahwa dana desa digunakan untuk kepentingan pribadi oknum tertentu.
Minimnya sosialisasi dan transparansi tersebut jelas bertentangan dengan prinsip keterbukaan yang seharusnya menjadi landasan utama dalam pengelolaan anggaran desa.
Akibatnya, pembangunan desa yang diharapkan dapat memajukan wilayah justru terhambat karena segelintir pihak yang mementingkan keuntungan pribadi.
Dana yang seharusnya digunakan untuk membangun jalan, jembatan, dan fasilitas umum lainnya, justru mengalir ke kantong pribadi.
Hal tersebut adalah pengkhianatan terhadap amanah yang diberikan oleh masyarakat.
Dalam situasi itu, pengawasan dari masyarakat menjadi kebutuhan mendesak.
Masyarakat harus aktif dalam mengawasi penggunaan dana desa agar transparansi benar-benar terwujud.
Pemerintah, baik pusat maupun daerah, perlu memperketat pengawasan dan memberikan sanksi tegas kepada para pelaku penyimpangan.
Hanya dengan langkah konkret inilah dana desa dapat benar-benar dimanfaatkan untuk kemajuan bersama, bukan untuk segelintir elit desa. ***