SUMENEP, Reportasenews.net – Stigma negatif yang ditebar Paslon FiNal terhadap tenaga kesehatan (nakes) di Sumenep menjadi perbincangan publik, Minggu (10/11/2024).
Dalam upaya mencari simpati, mereka malah menuding pelayanan di Puskesmas dan RSUD Sumenep sebagai “tidak ramah“.
Tuduhan ini sungguh ironis, mengingat nakes adalah garda terdepan yang berjibaku selama pandemi Covid-19, mempertaruhkan nyawa demi keselamatan masyarakat.
Ketika Covid-19 melanda, nakes di seluruh Indonesia, termasuk Sumenep, berdiri di garis depan.
Mereka merawat pasien tanpa memandang risiko terhadap diri sendiri.
Mereka menghadapi maut, bukan hanya sekadar menjalankan tugas, melainkan sebagai bentuk pengabdian tanpa pamrih.
Namun, setelah pandemi mereda, para pahlawan ini kini dicibir karena dianggap kurang ramah.
Apakah ini bentuk penghargaan yang layak?
Sangat disayangkan jika hanya karena satu atau dua kasus kekhilafan, pelayanan nakes secara keseluruhan dicap buruk.
Nakes adalah manusia yang bisa lelah, stres, dan terkadang menghadapi situasi yang tidak mudah.
Menggunakan kekurangan mereka sebagai bahan serangan politik hanya menunjukkan betapa rendahnya empati Paslon FiNal.
Apakah mereka lupa bahwa kritik yang membangun lebih baik daripada sekadar menyebarkan stigma negatif?
Debat publik seharusnya menjadi ajang untuk menunjukkan visi dan misi, bukan ruang untuk menyerang lawan politik dengan isu-isu yang tidak berdasar.
Paslon FiNal seakan lupa bahwa simpati publik tidak bisa didapat dengan menjelek-jelekkan lawan atau pihak lain, apalagi tenaga kesehatan yang telah berjasa besar.
Strategi ini justru dapat berbalik, membuat masyarakat meragukan integritas dan empati mereka sebagai calon pemimpin.
Pada akhirnya, warga Sumenep yang akan menilai siapa yang pantas dipilih dalam Pilkada mendatang.
Masyarakat perlu merenung, apakah akan memilih pemimpin yang mudah menuding dan menyalahkan, atau yang mampu menghargai jasa mereka yang telah berkorban di masa sulit.
Mari kita hormati nakes yang telah berjuang untuk kita. Jangan biarkan mereka menjadi korban politik yang tidak manusiawi. ***