JAKARTA – Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa masih berhati-hati dalam menentukan arah kebijakan cukai rokok. Purbaya mengaku perlu melakukan analisis mendalam sebelum memutuskan apakah tarif akan dinaikkan, diturunkan, atau dipertahankan.
“Saya belum menganalisis secara dalam seperti apa cukai rokok itu. Nanti saya lihat lagi,” ujar Purbaya di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (15/9/2025).
Selain mempertimbangkan kebijakan tarif, Purbaya menyoroti dugaan adanya praktik permainan cukai di lapangan, termasuk peredaran cukai palsu. Menurutnya, penertiban terhadap hal tersebut bisa meningkatkan penerimaan negara tanpa harus terburu-buru mengubah tarif.
“Kalau saya bisa hilangkan cukai-cukai palsu, berapa pendapatan saya? Dari situ baru saya putuskan, apakah nanti perlu diturunkan atau bahkan dinaikkan,” tegasnya.
Di sisi lain, industri rokok kini menghadapi tekanan besar. Isu rencana pemutusan hubungan kerja (PHK) massal di PT Gudang Garam Tbk (GGRM) mencuat di media sosial dan memicu kekhawatiran publik, mengingat perusahaan tersebut mempekerjakan lebih dari 30 ribu orang.
Wakil Ketua Komisi IX DPR RI, Yahya Zaini, menilai pemerintah perlu lebih bijak. Menurutnya, beban cukai yang tinggi ditambah regulasi kesehatan yang semakin ketat membuat industri rokok semakin terhimpit.
“Di satu sisi, tarif cukai tiap tahun terus dinaikkan. Di sisi lain, aturan kesehatan semakin diperketat. Kebijakan ini terkesan mendua,” katanya, Selasa (9/9/2025).
Meski tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT) tidak naik tahun ini, pemerintah tetap menaikkan Harga Jual Eceran (HJE) hampir semua produk tembakau melalui PMK Nomor 96 dan 97 Tahun 2024.
Industri rokok selama ini menjadi salah satu penopang penerimaan negara, dengan sumbangan sekitar Rp230 triliun per tahun melalui cukai, serta menyerap tenaga kerja sekitar 2 juta orang.
Namun, tekanan kebijakan terlihat nyata pada kinerja keuangan. Laba bersih PT Gudang Garam anjlok 81,57 persen, dari Rp5,32 triliun pada 2023 menjadi hanya Rp980,8 miliar pada 2024.