SUMENEP – Sejumlah wali murid di SMP Negeri 1 Sumenep melayangkan protes atas pungutan biaya kegiatan akhir tahun sekolah yang dinilai tidak hanya memberatkan, tetapi juga dilakukan tanpa dasar hukum dan transparansi yang memadai. Praktik semacam ini diduga melanggar regulasi yang berlaku tentang larangan pungutan liar di satuan pendidikan dasar negeri.
Keluhan datang dari wali murid siswa kelas IX yang diminta membayar biaya sebesar Rp250 ribu untuk acara perpisahan, Rp75 ribu untuk ijazah, serta Rp1.350.000 untuk kegiatan study tour. Anehnya, informasi terkait pungutan ini tidak pernah diumumkan secara resmi oleh pihak sekolah, melainkan disampaikan secara informal melalui anak-anak mereka.
“Seingat saya tidak ada rapat wali murid, tidak ada berita acara, apalagi rincian penggunaan anggaran. Semuanya hanya disampaikan secara lisan oleh anak saya. Ini jelas tidak prosedural dan sangat memberatkan,” ujar salah satu wali murid, Rabu (21/5).
Minim Musyawarah, Pungutan Diduga Mengandung Unsur Pemaksaan
Pungutan-pungutan tersebut dikeluhkan karena ditentukan sepihak oleh pihak sekolah, tanpa proses musyawarah yang sah dengan orang tua. Dalam konteks hukum, praktik semacam ini berpotensi melanggar Permendikbut No. 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah, yang secara tegas melarang satuan pendidikan negeri melakukan pungutan langsung kepada orang tua siswa tanpa mekanisme kesepakatan yang sah melalui komite sekolah.
“Saya bahkan tidak tergabung dalam grup wali murid. Kalau dari awal diberi tahu, kami bisa menabung. Sekarang mendadak disuruh bayar. Mau tidak mau harus ikut, karena kasihan anak saya kalau tertinggal dari teman-temannya. Ini bukan pilihan, tapi tekanan sosial,” imbuh wali murid lainnya.
Sekolah Bantah, Tapi Konfirmasi Dinas Menyiratkan Ketidaksinkronan
Kepala SMPN 1 Sumenep, Syaiful Rahman Dasuki, menyatakan bahwa tidak ada unsur paksaan dalam kegiatan tersebut. Menurutnya, kegiatan seperti perpisahan dan study tour merupakan tradisi sekolah yang sifatnya apresiatif dan opsional.
“Tidak ada pungutan wajib. Bahkan kami punya program anak asuh untuk siswa kurang mampu. Semua sudah kami koordinasikan dengan komite dan sebagian wali murid,” ujarnya.
Namun, pernyataan ini justru bertentangan dengan fakta bahwa tidak semua wali murid merasa dilibatkan, bahkan ada yang menyebut tidak pernah dimintai persetujuan secara formal. Lebih lanjut, Kepala Bidang Pembinaan SMP Disdik Sumenep, Mohammad Fajar Hidayat, menyebut bahwa tidak ada regulasi daerah yang memperbolehkan pungutan perpisahan di sekolah negeri, apalagi jika bersifat memaksa.
“Aturannya jelas. Tidak boleh ada pungutan dari sekolah kepada wali murid tanpa landasan dan persetujuan resmi komite. Jika terbukti, ini dapat dikategorikan sebagai pungutan liar,” tegas Fajar.
Potensi Pelanggaran Hukum: Pungli dan Penyalahgunaan Wewenang
Praktik penarikan biaya yang tidak memiliki landasan hukum ini dapat dikategorikan sebagai pungutan liar (pungli) sebagaimana diatur dalam UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang menyebutkan bahwa setiap pejabat atau pegawai negeri yang memanfaatkan jabatannya untuk menarik biaya di luar ketentuan resmi dapat dikenai sanksi hukum.
Selain itu, Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2016 tentang Satuan Tugas Saber Pungli secara tegas memasukkan praktik semacam ini sebagai pelanggaran yang harus ditindak oleh aparat penegak hukum.
Wali murid yang merasa dirugikan menyatakan siap untuk menyampaikan keberatan ini kepada pihak berwenang apabila tidak ada tindak lanjut dari sekolah maupun dinas terkait.
“Kami akan pertimbangkan langkah hukum atau melapor ke Saber Pungli jika tidak ada klarifikasi yang memadai. Ini menyangkut keadilan bagi semua wali murid, terutama yang kurang mampu,” tegas salah satu wali murid.
Desakan Transparansi dan Reformasi Tata Kelola Sekolah
Peristiwa ini menunjukkan masih lemahnya tata kelola partisipatif di lingkungan sekolah negeri, khususnya dalam pengelolaan kegiatan non-akademik. Banyak wali murid menilai kegiatan seperti perpisahan dan study tour bisa tetap dilaksanakan secara sederhana tanpa membebani keluarga siswa.
Mereka mendesak agar ke depan, setiap kegiatan yang bersinggungan dengan keuangan wajib disertai mekanisme musyawarah, pencatatan resmi, dan pelaporan transparan kepada seluruh wali murid.
“Kami tidak anti kegiatan. Tapi jangan dilakukan seperti ini. Sekolah negeri harusnya mengayomi, bukan menjadikan orang tua sebagai target pungutan,” tutupnya.