Kelulusan Jadi Ladang Bisnis: Sekolah di Sumenep Dituding Komersialisasi Momen Wisuda

F5777251 A22A 4D12 8960 F37FF5815DA9
Terjadi secara masif dan sistematis di banyak sekolah dasar (SD) hingga menengah (SMP dan SMA) di Sumenep. Meski acara wisuda tidak diatur dalam kurikulum nasional, pihak sekolah tetap mewajibkan siswa untuk mengikuti kegiatan ini demi memperoleh pengalaman kelulusan.

SUMENEP – Momen kelulusan yang seharusnya menjadi perayaan penuh syukur dan sederhana bagi siswa dan orang tua, kini justru berubah menjadi ladang bisnis tahunan di sejumlah sekolah di Kabupaten Sumenep. Biaya wisuda yang membengkak, paket-paket tak wajib yang dipaksakan, hingga kesan eksklusivitas acara yang dijual kepada wali murid, menjadi sorotan tajam publik.

Sejumlah wali murid mengeluhkan mahalnya biaya yang dikenakan untuk mengikuti prosesi wisuda. Biaya yang dikenakan bisa mencapai Rp500.000 hingga Rp1.500.000 per siswa, mencakup toga, dokumentasi, panggung, hingga konsumsi—yang semuanya dikelola oleh pihak ketiga.

“Ini bukan lagi perayaan kelulusan, tapi murni jadi proyek bisnis sekolah. Bahkan ada yang harus nyicil demi bisa ikut wisuda, padahal anak-anaknya lulus dari sekolah negeri,” keluh Fatimah, wali murid asal Kecamatan Dungkek, Jumat (23/5/2025).

Tak hanya di satu atau dua sekolah, praktik ini diduga terjadi secara masif dan sistematis di banyak sekolah dasar (SD) hingga menengah (SMP dan SMA) di Sumenep. Meski acara wisuda tidak diatur dalam kurikulum nasional, pihak sekolah tetap mewajibkan siswa untuk mengikuti kegiatan ini demi memperoleh “pengalaman kelulusan”.

“Ini jelas bentuk komersialisasi pendidikan. Wisuda tidak ada dalam standar penilaian kurikulum. Tapi justru dijadikan momen mengeruk uang dari masyarakat. Kami mendesak Dinas Pendidikan turun tangan,” ujar salah satu pengamat politik yang tidak mau disebut namanya.

Beberapa pihak sekolah berdalih bahwa acara wisuda digelar atas kesepakatan komite sekolah dan permintaan wali murid. Namun, banyak orang tua mengaku tidak diberi pilihan untuk menolak, bahkan terkesan dipaksa secara halus dengan tekanan sosial.

“Kalau tidak ikut wisuda, nanti anak saya dianggap ‘tidak lulus’ secara sosial. Ini paksaan terselubung,” ujar Hasan, wali murid SMP di Kecamatan Batang-Batang.

Hingga kini, Dinas Pendidikan Sumenep belum mengeluarkan pernyataan resmi terkait komersialisasi kelulusan ini. Banyak pihak berharap instansi tersebut tidak tutup mata dan segera mengeluarkan regulasi tegas.

“Pendidikan adalah hak, bukan pasar. Jika wisuda dijadikan ajang untung-untungan, maka sistem pendidikan kita sedang sakit,” kata Syamsul Huda menutup pernyataannya.

Kelulusan seharusnya menjadi momen apresiasi atas proses belajar, bukan ajang komersialisasi yang menambah beban ekonomi keluarga.

×