SUMENEP – Skandal dugaan penyimpangan dana Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (BSPS) di Kabupaten Sumenep terus menyeruak. Meski statusnya telah naik ke tahap penyidikan, hingga kini Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jawa Timur belum menetapkan satu pun tersangka. Di tengah ketidakjelasan ini, isu adanya dana pengondisian kian menguat di balik lambannya penanganan kasus tersebut.
Ironisnya, Kejati Jatim justru menutup rapat informasi kepada publik. Permintaan klarifikasi dari sejumlah awak media yang sejak awal mengawal kasus ini tak kunjung direspons.
Ketua Demisioner GMNI Sumenep, Ali Muddin, menyatakan kekecewaannya atas sikap tertutup Kejati.
“Ketertutupan ini sangat disayangkan. Kenapa hasil penyidikan BSPS ditutup-tutupi? Jangan-jangan memang sengaja dibiarkan berlarut supaya ada yang datang dan bernegosiasi,” tegasnya kepada wartawan Reportase.
Lebih mengejutkan, pihak penyedia program dan Kementrian Perumahan Kawasan dan Permukiman melalui (PKP) yang sebelumnya dilaporkan aktif sebagai pelapor—kini diam seribu bahasa. Publik pun mempertanyakan: ada apa di balik sunyinya pihak-pihak yang seharusnya paling vokal menuntut keadilan?
Isu yang berkembang menyebutkan adanya “bancakan elite” terhadap dana BSPS yang seharusnya diperuntukkan bagi warga miskin untuk memiliki hunian layak. Ketika institusi hukum dan lembaga pelapor justru bersembunyi di balik diam, kekhawatiran masyarakat akan adanya kriminalisasi selektif dan kompromi elitis kian beralasan.
Jika penyidikan ini terus dibiarkan stagnan, kasus BSPS Sumenep berpotensi menjadi simbol matinya supremasi hukum dan transparansi—sebuah preseden buruk bahwa hukum bisa dinegosiasikan, dan keadilan tunduk pada kekuasaan dan uang.