SUMENEP – Warga Desa Badur, Kecamatan Batupatih, Kabupaten Sumenep, mempertanyakan legalitas pembangunan Pasar Badur yang berdiri di atas lahan yang diduga masih berstatus sengketa. Sejumlah ahli waris mengklaim tanah tersebut merupakan milik keluarga mereka, bukan tanah kas desa atau tanah percaton.
Salah satu ahli waris, SN, menegaskan pihaknya memiliki bukti kepemilikan resmi berupa letter C Desa Badur, rincikan, hingga Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT).
“Tanah di lokasi pasar memiliki rincian jelas dan sudah digunakan turun-temurun. Pemdes Badur tidak punya bukti kepemilikan sah, tetapi tetap melanjutkan pembangunan pasar,” ujarnya, Sabtu (19/7/2025).
Praktisi hukum Emil Ma’ruf Wahyudi, SH., MH., menilai pembangunan pasar di atas lahan yang masih dipersoalkan dapat dikategorikan sebagai penyerobotan tanah. Menurutnya, hal ini bertentangan dengan Pasal 32 ayat (1) PP Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah serta berpotensi melanggar Pasal 385, 167, dan 389 KUHP, serta Perpu Nomor 51 Tahun 1960.

“Pemilik tanah berhak menuntut ke pengadilan jika haknya dilanggar. Pemdes harus menunjukkan bukti kepemilikan sah, jika tidak, tindakan itu bisa dianggap kesewenang-wenangan,” tegas Emil.
Tokoh masyarakat setempat, MS, menambahkan bahwa tanah yang ditempati pasar dulunya hanya dipinjamkan untuk pengelolaan sementara.
“Itu bukan tanah kas desa. Tanah kas asli Desa Badur ada di Gadding dan Manding Laok. Yang di Pasar Badur itu tanah warga,” jelasnya.
Ahli waris Ruksam, mantan Kepala Desa Badur, berharap Bupati Sumenep Achmad Fauzi Wongsojudo turun tangan menengahi persoalan tersebut.
“Kami minta tanah ini dikembalikan kepada ahli waris. Apalagi pasar yang dibangun juga tidak berfungsi,” pungkasnya.