SUMENEP — Di balik panggilan resmi kejaksaan terhadap Koordinator Lapangan dan beberapa Kepala Desa penerima program Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (BSPS) 2024, ada aroma tak sedap yang sulit ditutupi: ini bukan upaya mengungkap kebenaran, tapi pertunjukan yang naskahnya sudah disiapkan.
Kita sedang menyaksikan dagelan hukum — di mana jaksa memainkan peran sebagai sutradara, saksi diatur layaknya figuran, dan keadilan dibius agar tak mengganggu jalannya adegan.
Koordinator dan Kades dipanggil, iya. Tapi adakah yang benar-benar menggali bagaimana jatah pemotongan dana dilakukan? Siapa yang memerintahkan, siapa yang menutup mata, siapa yang menikmati? Tidak ada transparansi. Tidak ada intensitas. Yang ada hanya pengulangan sandiwara: dipanggil, datang, diam.
Lebih dari itu, ada dugaan kuat bahwa para saksi ini telah dikondisikan sebelum tiba di hadapan jaksa. Bahwa alih-alih mengungkap penyimpangan, mereka diminta untuk menjaga narasi: program aman, pelaksanaan bersih, tak ada pungli.
Apakah kita sebodoh itu?
Publik tahu bahwa praktik korupsi di program bantuan seperti BSPS sudah jadi rahasia umum. Tapi ketika laporan masuk, bukti disampaikan, dan suara warga menggema — sistem justru memilih memoles kebusukan agar terlihat bersih. Keadilan digadaikan demi jaga nama instansi.
Kita tidak butuh panggilan formalitas. Kita butuh penegakan hukum yang jujur. Kita tidak butuh sidang akrobatik. Kita butuh keberanian jaksa untuk membongkar, bukan menyembunyikan.
Kalau aparat tak mampu berdiri netral, biarkan masyarakat sipil yang mengambil alih narasi. Karena kalau hukum hanya jadi alat untuk menutup kasus, maka suara rakyat akan jadi palu keadilan yang sesungguhnya.