BLITAR – Kinerja dan transparansi keuangan Badan Usaha Milik Desa Bersama (BUMDesma) Galang Bareng di Kecamatan Wlingi, Kabupaten Blitar, kini menjadi sorotan publik. Hal ini menyusul terungkapnya kesenjangan mencolok antara setoran modal dari Dana Desa (DD) yang mencapai lebih dari Rp100 juta dengan Pendapatan Asli Desa (PAD) yang hanya Rp1 juta dalam kurun waktu empat tahun.
BUMDesma yang berlokasi di Desa Balerejo ini dikelola oleh Direktur Basuki Witanto dan Bendahara Sri Sumiati, dengan Kepala Desa Balerejo, Setiyoko, bertindak sebagai pembina.
Menurut keterangan sumber terpercaya, dana tersebut berasal dari empat desa yang tergabung dalam BUMDesma, yakni Tegalasri, Tembalang, Balerejo, dan Ngadirenggo. Dana desa masing-masing dialokasikan untuk mendukung usaha jual beli bubuk kopi yang menjadi kegiatan utama BUMDesma tersebut.
“Sudah berjalan empat tahun, tapi PAD untuk desa kami hanya satu juta rupiah,” ungkap salah satu sumber dari desa anggota BUMDesma.
Saat dikonfirmasi, Direktur BUMDesma Basuki Witanto tidak memberikan jawaban mendalam dan justru meminta agar pertanyaan dialamatkan kepada Kepala Desa Balerejo, Setiyoko, selaku dewan penasihat. Ia juga mengaku tidak memahami detail keuangan sebelum kemudian memutus sambungan telepon.
Sikap ini semakin memperkuat dugaan adanya minimnya akuntabilitas dalam pengelolaan BUMDesma Galang Bareng.
Disparitas besar antara modal publik dan hasil PAD yang dikembalikan menimbulkan tanda tanya serius soal efektivitas usaha, transparansi, serta tata kelola keuangan BUMDesma.
Padahal, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 11 Tahun 2021 tentang BUM Desa menegaskan bahwa setiap BUMDes wajib dikelola secara profesional, transparan, dan memberikan manfaat ekonomi nyata bagi masyarakat desa.
Selain itu, Permendesa PDTT Nomor 9 Tahun 2023 dan Nomor 3 Tahun 2021 juga menekankan pentingnya aspek akuntabilitas, pengadaan barang/jasa yang tertib, serta pengembangan usaha yang berorientasi pada kesejahteraan warga.
Namun, temuan di lapangan menunjukkan bahwa praktik pengelolaan BUMDesma Galang Bareng justru tidak sejalan dengan amanat regulasi tersebut.
Informasi lain menyebutkan bahwa BUMDesma Galang Bareng menjalin kemitraan dengan perusahaan besar, ASTRA.
Kerja sama ini sejatinya diharapkan dapat meningkatkan kapasitas usaha dan memperkuat PAD desa. Namun, hingga kini belum terlihat kontribusi signifikan dari kemitraan tersebut terhadap kinerja keuangan BUMDesma.
Sejumlah desa anggota kini mendesak audit menyeluruh terhadap pengelolaan BUMDesma Galang Bareng.
Mereka menilai, pengurus yang terdiri atas Direktur Basuki Witanto, Bendahara Sri Sumiati, dan Pembina Setiyoko (Kepala Desa Balerejo) harus segera memberikan laporan pertanggungjawaban yang terbuka dan dapat diakses publik.
Audit ini dinilai penting untuk memastikan tidak adanya penyimpangan penggunaan Dana Desa dan agar BUMDesma benar-benar berfungsi sebagai instrumen penggerak ekonomi desa sesuai semangat Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.
“Transparansi bukan hanya kewajiban moral, tapi juga bentuk tanggung jawab hukum terhadap dana publik,” tegas salah satu tokoh masyarakat Balerejo.
Kasus ini menjadi peringatan bagi pengelola BUMDes di seluruh Indonesia agar senantiasa patuh terhadap prinsip transparansi dan tata kelola yang baik. Tanpa akuntabilitas yang kuat, BUMDes hanya akan menjadi wadah formal tanpa dampak nyata bagi kesejahteraan warga desa.