MALANG – Sebuah bangunan megah milik Perumda Tirta Kanjuruhan yang merupakan fasilitas Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) kini tengah disorot tajam. Proyek senilai Rp103 miliar dari APBN dan tambahan Rp20 miliar penyertaan modal Pemkab Malang itu dibangun di atas Tanah Kas Desa (TKD) Segaran, Kecamatan Gedangan—namun diduga kuat tak memiliki legalitas kepemilikan yang sah.
Hampir empat tahun beroperasi, bangunan SPAM tersebut belum juga menunjukkan kejelasan status tanah. Ketika dikonfirmasi, pihak Perumda tidak dapat menunjukkan Sertifikat Hak Milik (SHM) maupun Hak Guna Bangunan (HGB) atas tanah dimaksud, dan justru melempar persoalan kepada seorang bernama Sutiyok.
Seorang tokoh masyarakat yang enggan disebut namanya mengatakan, pembangunan fasilitas negara di atas TKD itu dilakukan tanpa izin resmi dari Gubernur Jawa Timur, sebagaimana diatur dalam regulasi terkait pengalihan aset desa. “Itu lahan desa, tapi dibangun besar-besaran tanpa kejelasan. Kalau ditanya, jawabannya suruh tanya ke pusat. Sangat tidak transparan,” ucapnya geram.
Kepala Desa Segaran, Tassan, saat dikonfirmasi pada 20 Juni 2025, menyatakan bahwa semua dokumen tukar guling TKD sudah diserahkan kepada Perumda. Namun ia menyayangkan sikap Perumda yang terkesan menyalahkan pihak desa.
“Tanah yang ditukar itu tanah warisan keluarga saya. Tapi selama lebih dari tiga tahun tidak bisa digarap. Tidak ada kontribusi ke PAD desa karena tidak ada sertifikat atau status hukum yang jelas,” ungkap Tassan kecewa.
Ia mengaku sudah menyerahkan sepenuhnya urusan tersebut ke Perumda dan meminta wartawan mengonfirmasi langsung ke Pemerintah Daerah. Sayangnya, konfirmasi kepada Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (DPMD) hingga kini tak membuahkan jawaban.
Informasi dari warga menyebutkan bahwa tanah pengganti untuk tukar guling jauh dari kata setara. Lahan TKD yang bernilai tinggi ditukar dengan tanah pribadi Kades seluas sekitar 1.000 m² yang disebut-sebut tandus, berkapur, dan tak produktif.
“Tanah warisan milik kades itu kalau dijual paling laku Rp25 juta. Tapi TKD dihargai Rp400 juta. Ini jelas merugikan desa,” ungkap salah satu warga yang mengetahui proses transaksi.
Padahal TKD seharusnya menjadi sumber Pendapatan Asli Desa (PAD), bukan justru dikorbankan untuk tukar guling yang nilainya diragukan.
Polemik ini juga membuka kembali dugaan praktik korupsi struktural di tubuh Perumda Tirta Kanjuruhan. Mahmud, mantan pemegang SPK, mengungkap praktik “setor fee” yang sudah menjadi rahasia umum.
“Dulu setoran bisa sampai 20 persen dari nilai proyek. Baik lewat tender maupun penunjukan langsung, tetap dimintai,” ungkapnya.
Ia juga menyebut kasus lama pada tahun 2007–2010, saat pejabat Perumda sempat dipanggil Kejaksaan Tinggi terkait proyek meterisasi Sumber Pitu, dengan dugaan markup harga pipa.
“Pipa yang harusnya Rp55 ribu dimark-up jadi Rp75 ribu. Selisihnya untuk orang dalam,” tambah Mahmud.
Polemik status lahan TKD Segaran kini menjadi bola panas yang menunggu klarifikasi dari Perumda Tirta Kanjuruhan, Pemdes Segaran, hingga Pemkab Malang. Pertanyaan besar pun mengemuka:
Apakah ini sekadar kesalahan administratif? Ataukah bagian dari skema korupsi yang terorganisir?
Warga mendesak investigasi menyeluruh, keterbukaan informasi, dan audit independen terhadap proyek bernilai miliaran rupiah ini. Jika benar terjadi penyalahgunaan kewenangan dan manipulasi nilai tukar guling, maka tindakan tersebut bisa masuk dalam kategori korupsi aset desa dan penyalahgunaan wewenang, sebagaimana diatur dalam UU Tipikor dan UU Desa.